Posted on Juli 26, 2007 by abuzubair
MAKNA DAN HUKUM QASHAR
Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami
Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).
Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini
seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal
manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku
sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau
menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah
menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.”
(HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku
menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau
tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah
atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu
‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat,
kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah
berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh
dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak
ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang
yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut
safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan
dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan
tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang
jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr.
Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan
dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya
mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang
menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-,
karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang
layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir:
“Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar
(meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda
pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai
musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur
(sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan
waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz,
Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa
seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia
mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada
di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun
yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam
masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan
dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah
meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di
azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas
jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan
batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi
musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung
halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan
tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).
SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat
bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi
musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah
rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah
bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan
raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau
dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama
berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak
mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika
safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah
rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: “Kalau
sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku
akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai
saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam
dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai
wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau
tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku
menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas
dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu
dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan
Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik
bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad,
Ibnul Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul
Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat
sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah
fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid-
dan tathawwu’utlat adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap
disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.
JAMA’
Menjama’ shalat adalah
menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib dg Isya’)
dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan
jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317).
Jama’ Taqdim adalah
mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama,
yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan
Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan secara
berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun Jama’ Ta’khir
adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua,
yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’
dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara
berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah
dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh
dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan-
dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan
ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang
membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika
masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi
rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak
dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’
di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab
takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau
menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin
memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
MENJAMA’ JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan
menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an
apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-,
walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak
adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada
adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’.
Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak
perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila
ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan
dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu
dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum
asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali
apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak ada kelaziman
antara jama’ dan qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar shalat dan
tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan
perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa
menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya
mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada wkatu perang Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ). Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar
apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat ini merupakan fatwa para ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’
shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya ketika
diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).
MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah
wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat
dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu
empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka
shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang
shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah:
Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku
bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu
(penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma
menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir
dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya
maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai
selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah
imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan
hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka
sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari
dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk
Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang
musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat
raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar
adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila
musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at
maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini
adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur,
dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar
Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah
bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat
jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak
melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di
jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73).
Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu
anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang
setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan
Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri,
dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al
Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak
shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir
rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para
ulama) yang berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak
diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Di ambil dari materi
Kajian Majelis Taklim dan Dakwah “Husnul Khotimah” Masjid An Nut Jagalan
Malang, pengasuh Al Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadromi.
http://abuzubair.wordpress.com/2007/07/26/seputar-hukum-shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/